Sabtu, 30 Maret 2013

Person Centered Therapy


Client-centered Therapy adalah sebuah metode terapi yang diperkenalkan oleh seorang tokoh yang bernama Carl Rogers yang merupakan pencipta pendekatan konseling dan terapi yang dimaksudkan untuk membantu klien memenuhi potensi unik mereka dan menjadi pribadinya sendiri. Pada awalnya terapi ini bernama Client-centered Therapy, tetapi mulai tahun 1974 Rogers dan rekan-rekan sejawatnya mengubah nama terapi ini menjadi Person Centered Therapy untuk lebih menekankan pada aspek manusiawi. Tetapi nama Client-centered Therapy masih digunakan terus dalam penjelasan-penjelasan Rogers, bergantian dengan istilah Person-Centered Therapy. Person-Centered Therapy terutama digunakan untuk aktivitas -aktivitas di luar situasi terapi satu-lawan-satu. Pendekatan ini adalah upaya untuk melepaskan diri dari terapi psikodinamika dan usaha untuk mengemansipasi manusia dari dari pengaruh orangtua yang menguasai pikiran, perasaan, dan tindakan anak-anaknya.
Menurut Rogers, manusia pada dasarnya hidup di dunia pribadi dan subyektifnya. Pandangan pada perseptual subyektif klien inilah yang memunculkan istilah client-Centered, yang mana persepsi klien dianggap sebagai persepsinya mengenai realitas. Rogers menekankan bahwa satu-satunya realitas yang mungkin diketahui orang adalah dunia yang dipersepsinya dan dialaminya secara individual pada saat itu. Sementara ‘real world‘ adalah suatu realitas yang dapat disetujui semua orang.

Pada Client-centered Therapy, manusia dipandang secara positif sebagai makhluk yang berbudaya dan bergerak maju. Bahkan karena manusia adalah makhluk yang positif, manusia tidak perlu mengontrol impuls-impuls agresifnya, karena impuls-impuls agresif ini juga mengarah pada hal-hal yang positif. Misalkan; seorang kakak memarahi adiknya karena adiknya diyakini oleh sang kakak berbuat suatu kesalahan, sehingga kakak menegur untuk kebaikan diri adiknya. Contoh lain: Lembaga sensor film juga tidak diperlukan menurut pandangan ini karena manusia dapat menentukan sendiri yang positif dan baik untuk dirinya. Sebagai manusia yang positif dan bergerak maju, sebetulnya manusia memiliki kemampuan untuk menghindar dari gangguan kepribadian sehingga tanggung jawab dalam proses terapi terletak di tangan klien. Klien sebagai pribadi yang aktif mengetahui yang terbaik untuk dirinya. Akar Client-centered Therapy adalah kapasitas klien untuk menjadi waspada dan kemampuan untuk mengambil keputusan. Yang dimaksud waspada di sini adalah waspada terhadap dirinya sendiri maupun lingkungannya. Contohnya: klien waspada ketika ia mulai merasa bahwa dirinya marah terhadap pasangannya.

Yang menarik dari karakteristik Client-centered Therapy (lihat karakteristik dari ppt materi pertemuan 4) adalah adanya pandangan bahwa antara individu yang mengalami gangguan kepribadian dan yang tidak mengalami gangguan pada dasarnya tidak ada perbedaan. Yang berbeda antara individu yang terganggu dan tidak terganggu hanyalah kematangan psikologisnya. Dan satu lagi, Client-centered Therapy ini bukan merupakan sekumpulan teknik atau dogma, melainkan hanyalah merupakan cara untuk berbagi pengalaman hidup antara terapis dan klien. Dengan demikian tidak ada teknik khusus yang digunakan dalam pendekatan ini selain konsep-konsep dasar dan pandangan mengenai manusia yang perlu diperhatikan dalam memandang dunia fenomenal setiap individu.

Dalam kehidupan, manusia sering berpura-pura sebagai perlindungan terhadap ancaman. Ketika manusia berpura-pura itulah, manusia seperti memakai topeng dirinya. Dan manusia yang terlalu sering berpura-pura lama kelamaan akan menjadi terasing terhadap dirinya sendiri. Oleh sebab itu, manusia seringkali perlu bertanya “Who Am I?” untuk menyelaraskan antara dunia pribadinya yang ideal (ideal self) dan dunia kenyataan (real self), sehingga terbentuk kongruensi antara ideal self dengan real self. Apabila jarak kongruensi antara ideal self dan real self terlalu jauh, manusia akan menjadi bingung antara yang terjadi dengan dirinya dan yang terjadi dengan dunia di sekitarnya. Kematangan psikologis akan terganggu oleh karena kewaspadaan diri yang kurang optimal. Misalkan: ada seorang pria yang ingin menjadi dokter (ideal self), tetapi ternyata nilai-nilainya di fakultas kedokteran selalu kurang, sehingga ia sering tidak lulus ujian (real self). Hal seperti ini perlu menjadi pertimbangan pria tersebut, apakah ideal self-nya sudah kongruen dengan real self-nya? Apabila kurang kongruen, perlu dicari penyebabnya, yang kemungkinan besar, terkait dengan kurangnya kewaspadaan diri mengenai bakatnya yang menonjol. Individu yang seperti inilah yang membutuhkan Client-centered Therapy. Client-centered Therapy bertujuan agar individu dapat berfungsi secara penuh. Jadi diharapkan dengan mengikuti Client-centered Therapy, pria tersebut dapat menemukan bakat yang lebih menonjol dalam dirinya dan mengembangkan diri dengan bakatnya tersebut, sehingga ia dapat berfungsi secara penuh.

Dalam Client-centered Therapy, diri terapis berfungsi sebagai instrumen perubahan pada diri klien, sehingga sikap terapis memiliki peranan besar terhadap keberhasilan terapi ini. Terapis Client-Centered   sebaiknya menciptakan suasana yang kondusif yang mampu memfasilitasi pertumbuhan diri klien selama terapi berlangsung. Dalam hal ini, sebaiknya terapis bersifat hangat dan terbuka, sehingga perlahan-lahan klien akan merasa nyaman dan dengan sendirinya akan bersikap terbuka terhadap terapis. Selain itu, terapis tidak bersikap direktif, melainkan menciptakan hubungan yang bersifat menolong dengan menjadi cermin untuk klien. Dan yang tak kalah penting, terapis dalam klien Client-centered Therapy harus menjadi pribadi yang nyata/ jujur dalam hubungannya dengan klien. Pribadi terapis yang mampu memberi perhatian yang tulus pada klien tanpa syarat (Unconditional positive regard) juga menjadi prasyarat penting dalam Client-centered Therapy di samping kemampuan terapis untuk berempati secara akurat untuk memahami dunia klien yang fenomenal. Namun demikian, sikap terapis ini harus diimbangi dengan pribadi klien dan sikap klien yang positif selama sesi terapi berlangsung, sehingga dapat terwujud perubahan yang signifikan dalam diri klien yang merupakan buah dari proses terapi.


Kelebihan :
·  Pemusatan pada klien dan bukan pada terapist
·  Identifikasi dan hubungan terapi sebagai wahana utama dalam mengubah kepribadian.
·  Lebih menekankan pada sikap terapi daripada teknik.
·  Memberikan kemungkinan untuk melakukan penelitian dan penemuan kuantitatif.

    Kekurangan :

· Terapi berpusat pada klien dianggap terlalu sederhana

· Terlalu menekankan aspek afektif, emosional, perasaan

· Tujuan untuk setiap klien yaitu memaksimalkan diri, dirasa terlalu luas dan umum sehingga sulit untuk menilai individu.

·  Tidak cukup sistematik dan lengkap terutama yang berkaitan dengan klien yang kecil tanggungjawabnya.



Sumber :

Alwilsol(2008). Psikologi Kepribadian. UMM Press. Malang

Suryabrata, Sumadi (2008). Psikologi Kepribadian. Rajawali Pers. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar