Jumat, 23 November 2012

Multikulturalisme

Kesadaran multikultur sebenarnya sudah muncul sejak Negara Republik Indonesia terbentuk. Pada masa Orde Baru, kesadaran tersebut dipendam atas nama kesatuan dan persatuan. Paham monokulturalisme kemudian ditekankan. Akibatnya sampai saat ini, wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah. Ada juga pemahaman yang memandang multikultur sebagai eksklusivitas. Multikultur justru disalahartikan yang mempertegas batas identitas antar individu. Bahkan ada yang juga mempersoalkan masalah asli atau tidak asli.
Multikultur baru muncul pada tahun 1980-an yang awalnya mengkritik penerapan demokrasi. Pada penerapannya, demokrasi ternyata hanya berlaku pada kelompok tertentu. Wacana demokrasi itu ternyata bertentangan dengan perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru. 

Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan tatanan kehidupan Orde Baru adalah sebuah “masyarakat multikultural Indonesia” dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak “masyarakat majemuk” (plural society) sehingga corak masyarakat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.

Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mozaik. Di dalam mozaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mozaik tersebut. Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: “Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”.


Tulisan berikut ingin menunjukkan bahwa upaya membangun masa depan bangsa Indonesia di atas pondasi multikultural hanya mungkin dapat terwujud bila: pertama, konsep multikulturalisme menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal untuk mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya; serta kedua upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini.



Konsep Multikulturalisme

Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.


Dalam upaya membangun masa depan bangsa, paham multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana, melainkan sebagai sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri yang terpisah dari ideologi-ideologi lainnya. Multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan mengembangkannya dalam kehidupan bermasya-rakat. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia.


Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antar manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.


Kajian seperti ini juga akan dapat menyingkap dan mengungkap seperti apa corak etika (ethics) yang ada dalam struktur-struktur kegiatan sesuatu pengelolaan manajemen yang memproses masukan (in-put) menjadi keluaran (out-put). Apakah memang ada pedoman etika dalam setiap struktur manajemen, ataukah tidak ada pedoman etikanya, ataukah pedoman etika itu ada yang ideal (yang dicita-citakan dan yang dipamerkan) dan yang aktual (yang betul-betul digunakan dalam proses-proses manajemen dan biasanya disembunyikan dari pengamatan umum)? 


Cita-cita reformasi yang sekarang ini tampaknya mengalami kemacetan dalam pelaksanaannya, ada baiknya digulirkan kembali. Alat penggulir bagi proses-proses reformasi sebaiknya secara model dapat dioperasionalkan dan dimonitor, yaitu mengaktifkan model multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat majemuk dan secara bertahap memasuki masyarakat multikultural Indonesia. Sebagai model, maka masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau Bhinneka Tunggal Ika yang multikultural, yang melandasi corak struktur masyarakat Indonesia pada tingkat lokal dan nasional.


Dalam upaya ini harus dipikirkan adanya ruang-ruang fisik dan budaya bagi keanekaragaman kebudayaan yang ada setempat atau pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional dan berbagai corak dinamikanya. Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika dan pembakuannya sebagai acuan bertindak sesuai dengan adab dan moral dalam berbagai interaksi yang terserap dalam hak dan kewajiban dari pelakunya dalam berbagai struktur kegiatan dan manajemen pemerintahan. Pedoman etika ini akan membantu upaya-upaya pemberantasan KKN secara hukum


Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah menumbuhkan integrasi nasional melalui revitalisasi gagasan (mutualisme, musyawarah dan mufakat, kesetaraan) dan nilai-nilai agama (kasih sayang, damai, keadilan dan persatuan) dalam ruang lingkup pergaulan sesama anak bangsa. Memang tidak mudah bagi bangsa yang pluralistik dan multikultural untuk menjaga integrasi nasional, namun hal tersebut tetap dapat dilakukan.


Hal-hal yang harus kita lakukan adalah: pertama, meningkatkan pemahaman tentang multikulturalisme Indonesia. Perlu dilakukan penumbuhan rasa saling memiliki aset-aset nasional yang berasal dari nilai-nilai adiluhung bangsa Indonesia, khususnya dari suku-suku bangsa, sehingga mendorong terbentuknya shared property dan shared entitlement. Artinya upaya membuat seseorang dari kawasan Barat Indonesia dapat menghargai, menikmati dan merasakan sebagai milik sendiri berbagai unsur kebudayaan yang terdapat di kawasan Timur Indonesia, dan demikian pula sebaliknya.


Kedua, setiap program pembangunan hendaknya mengemban misi menciptakan dan menyeimbangkan mutualisme sebagai wujud doktrin kebersamaan dalam asas kekeluargaan (mutualism and brotherhood) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian strategi dan kebijakan pembangunan, khususnya strategi dan kebijakan budaya, harus bertolak dan berorientasi pada upaya memperkokoh persatuan Indonesia melalui upaya menumbuhkan mutualisme antar komponen bangsa dan di tingkat grass-roots, antar anggota masyarakat.


Dalam asas kebersamaan berdasarkan asas kekeluargaan (mutualism and brotherhood atau ukhuwah) yang sekaligus dapat menumbuhkan modal sosial, kerjasama di bidang pembangunan ekonomi dapat melibatkan berbagai lokalitas di tingkat kabupaten/kota, kecamatan ataupun desa, dengan dirancangnya upaya membentuk dan mengembang-kan mutualisme untuk memperkokoh integrasi dan kohesi nasional. Dengan demikian akan terwujud pembangunan ekonomi dan sekaligus interdependensi sosial. Pola interdependensi, yang sekaligus merupakan ketahanan budaya, harus dirancang oleh lembaga perencanaan di tingkat nasional dan tingkat daerah sebagai bagian dari integritas bangsa. Untuk memperkokoh kohesi nasional, perencanaan akan menjadi tujuan strategis karena perencanaan mendesain masa depan.



Membangun Masa Depan Bangsa di Atas Pondasi Multikultural

Untuk membangun bangsa ke depan diperlukan upaya untuk menjalankan asas gerakkan multikulturalisme menjadi sebuah ideologi yang dianggap mampu menyelesaikan berbagai masalah, sebagai berikut:


  • Manusia tumbuh dan besar pada hubungan sosial di dalam sebuah tatanan tertentu, dimana sistem nilai di terapkan dalam berbagai simbol-simbol budaya dan ungkapan-ungkapan bangsa.
  •  Keanekaragaman budaya menunjukkan adanya visi dan sistem dari masing-masing kebudayaan sehingga budaya satu memerlukan budaya lain. Dengan mempelajari kebudayaan lain, maka akan memperluas cakrawala pemahaman akan makna multikulturalisme
  • Setiap kebudayaan secara internal adalah majemuk sehingga dialog berkelanjutan sangat diperlukan sebagai modal terciptanya semangat persatuan dan kesatuan.

Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, paradigma hubungan dialogal atau pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan, untuk mengatasi ekses-ekses negatif dari suatu problem disintegrasi bangsa. Paradigma hubungan timbal balik dalam masyarakat multikultural mensyaratkan tiga kompetensi normatif, yaitu kompetensi kebudayaan, kemasyarakatan dan kepribadian. Kompetensi kebudayaan adalah kumpulan pengetahuan yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam tindakan komunikatif membuat interpretasi-interpretasi yang dapat mengkondisikan tercapainya konsesus mengenai sesuatu. Kompetensi kemasyarakatan merupakan tatanan-tatanan syah yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam tindakan komunikatif membentuk solidaritas sejati. Kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang memungkinkan seorang subjek dapat berbicara dan bertindak dan karenanya mampu berpartisipasi dalam proses pemahaman timbal balik sesuai konteks tertentu dan mampu memelihara jati dirinya sendiri dalam berbagai perubahan interaksi.


Semangat kebersamaan dalam perbedaan sebagaimana terpatri dalam wacana Bhineka Tunggal Ika perlu menjadi ruh atau spirit penggerak setiap tindakan komunikatif, khususnya dalam proses pengambilan keputusan politik, keputusan yang menyangkut persoalan kehidupan bersama sebagai bangsa dan negara. Jika tindakan komunikatif terlaksana dalam sebuah komunitas masyarakat multikultural, hubungan diagonal ini akan menghasilkan beberapa hal penting, misalnya:

  • Reproduksi kultural yang menjamin bahwa dalam konsepsi politik yang baru, tetap ada kelangsungan tradisi dan koherensi pengetahuan yang memadai untuk kebutuhan konsesus praktis dalam praktek kehidupan sehari-hari.
  • Integrasi sosial yang menjamin bahwa koordinasi tindakan politis tetap terpelihara melalui sarana-sarana hubungan antar pribadi dan antar komponen politik yang diatur secara resmi (legitimate) tanpa menghilangkan identitas masing-masing unsur kebudayaan.
  • Sosialisasi yang menjamin bahwa konsepsi politik yang disepakati harus mampu memberi ruang tindak bagi generasi mendatang dan penyelarasan konteks kehidupan individu dan kehidupan kolektif tetap terjaga.

Dapat dikatakan bahwa secara konstitusional negara Indonesia dibangun untuk mewujudkan dan mengembangkan bangsa yang religius, humanis, bersatu dalam kebhinnekaan. Demokratis dan berkeadilan sosial, belum sepenuhnya tercapai. Konsekuensinya ialah keharusan melanjutkan proses membentuk kehidupan sosial budaya yang maju dan kreatif; memiliki sikap budaya kosmopolitan dan pluralistik; tatanan sosial politik yang demokratis dan struktur sosial ekonomi masyarakat yang adil dan bersifat kerakyatan.


Dengan demikian kita melihat bahwa semboyan “Satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa dan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ masih jauh dari kenyataan sejarah. Ia masih merupakan mitos yang perlu didekatkan dengan realitas sejarah, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kokoh, beranekaragam budaya, etnik, suku, ras dan agama, yang kesemuanya itu akan menjadikan Indonesia menjadi sebuah bangsa yang mampu mengakomodasi kemajemukkan itu menjadi suatu yang tangguh sehingga ancaman disintegrasi dan perpecahan bangsa dapat dihindari. 


Dengan memperhatikan pokok-pokok tentang multikulturalisme dan dihubungkan dengan kondisi negara Indonesia saat ini, kiranya menjadi jelas bahwa multikulturalisme perlu dikembangkan di Indonesia, karena justru dengan kebijakan inilah kita dapat memaknai Bhinneka Tunggal Ika secara baik, seimbang dan proporsional. Dengan kebijakan ini pula kita dapat membangun masa depan bangsa melalui penerapan “Persatuan Indonesia” serta mengembangkan semangat nasionalisme sebagaimana diharapkan.

Hal penting lainnya dalam rangka membangun masa depan kehidupan berbangsa adalah melalui kebijakan strategi kebudayaan nasional. Kita mengetahui bahwa Indonesia merupakan bangsa yang pluralistik dan multikultural. Ciri pluralistik, dengan keanekaragaman suku-suku bangsa dengan adat istiadatnya masing-masing, bahasa, tradisi, keragaman agama dan kepercayaan tradisional. Ciri multikultural, dengan melihat setiap suku bangsa sebagai kesatuan budaya dan kearifan lokal yang dimilikinya, masing-masing dengan keunggulan budayanya maupun hambatan budayanya. Keunggulan diangkat untuk didayagunakan sebaik-baiknya dalam pembangunan nasional, sedangkan hambatan budaya diatasi melalui pendekatan kultural yang seksama. Kepada anak-anak bangsa, sejak usia dini harus ditanamkan keyakinan bahwa penduduk negara kita yang multikultural merupakan suatu mozaik yang membentuk suatu gambar indah, dalam kesatuan bangsa di Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Strategi kebudayaan nasional Indonesia juga harus diisi dengan nilai-nilai yang mendorong kemajuan bangsa, dimulai dengan membangun manusia yang cerdas hidupnya, yang bukan hanya cerdas otaknya tetapi lebih penting lagi mempunyai kehidupan yang berharkat dan bermartabat tinggi, tidak rendah diri, sehingga mampu mendesain sendiri arah dan tujuan membangun bangsa dan negara, tanpa ketergantungan terhadap pihak asing, baik negara atau kekuatan asing. Dengan kata lain, menjadi tuan di negeri sendiri.


Nilai-nilai Kebudayaan Nasional Sebagai Unsur Ketahanan Budaya

Dalam risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), memuat proses penyusunan isi pasal-pasal dalam UUD 1945 oleh para founding fathers untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai budaya yang dipilih founding fathers itu sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara berkenaan dengan kebersamaan, kesetaraan dan keadilan, perlindungan, kesejahteraan rakyat, serta kemartabatan tinggi.


Para founding fathers menghendaki bahwa negara yang didirikan adalah Negara Pengurus, yakni negara yang mengurus rakyatnya sebaik-baiknya dan tidak menjadi Negara Kesatuan (Machtsstaat) melainkan menjadi Negara Hukum (Rechtsstaat). Para pendiri negara menolak le d roits de l’homme et du citoyen, menentang individualisme dan liberalisme dan memilih jiwa kebersamaan dan kekeluargaan serta gotong royong. Para pendiri negara menolak kedaulatan individu dan mengusulkan kedaulatan rakyat.


Namun dengan lenyapnya individualisme ini, tidaklah sampai hak warga negara dihilangkan semena-mena. Dalam kedaulatan rakyat, hak-hak warga negara dipelihara namun dibatasi oleh rasa bersama, yaitu oleh semangat kebersamaan dan kekeluargaan (mutualism and brotherhood). Di sinilah bangsa kita, melalui pernyataan kemerdekaannya, melaksanakan transformasi budaya, yaitu menghapuskan “daulat tuanku” dan menegakkan daulat rakyat. Dengan tidak dihapuskannya hak-hak individu secara semena-mena itu, berarti hak individu (dalam artian hak warga negara) tetap dihormati, yang dibatasi oleh kolektivisme.


Norma-norma di atas merupakan norma bagi the modernizing elite bangsa, khususnya kaum birokrat dan kaum akademisi. Dalam situasi dan kondisi saat ini norma-norma tersebut dapat dijabarkan melalui: pertama, rakyatlah yang dibangun. Rakyat harus dilihat sebagai subyek bukan obyek, sebagai aset bukan beban serta sebagai potensi pembangunan, bukan hambatan.


Kedua, pendidikan adalah untuk mencapai kehidupan yang cerdas dan mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah suatu konsepsi budaya, bukan sekedar konsepsi biologis-genetika. Pendidikan bukan semata-mata untuk menghasilkan otak yang cerdas melainkan juga untuk mencapai kemajuan adab, budaya dan persatuan.


Ketiga, sistem perekonomian didesain untuk kesejahteraan rakyat, walaupun hak individu tidak hilang sebgaimana yang tersirat dalam Pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Keempat, kesadaran akan kedaulatan negara dan kedaulatan rakyat. Prinsip kesetaraan dan keadilan tidak saja berkaitan dengan suku bangsa, agama, daerah, melainkan juga dengan gender.


Kelima, ditegaskan oleh para pendiri negara bahwa negara membangun kebudayaan nasional yang berkepribadian nasional. Nilai-nilai dan norma-norma itulah yang oleh para founding fathers disusun secara tulus untuk mengisi kebudayaan nasional yang dijadikan pedoman bagi rakyat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara merupakan suatu mindset untuk mempersatukan bangsa Indonesia.

Menelusuri perjalanan sejarah hingga kurun waktu hampir empat dasawarsa ke belakang, terlihat bagaimana kebersamaan serta persatuan dan kesatuan bangsa menjadi kian rapuh, integrasi sosial terancam, pengkotakan makin meningkat, kesetaraan dan keadilan masih lebih banyak berada di tingkat gagasan dari pada di tingkat implementasinya dalam kehidupan masyarakat. Hal ini juga jelas terlihat dalam pelaksanaan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Karena itu, dokrin mutualisme, prinsip menjaga kesatuan dan persatuan dalam kehidupan bangsa Indonesia yang multikultural, serta prinsip mencapai keadilan dan kesetaraan (yang akan memperkuat kesatuan dan persatuan) dewasa ini dirasakan memerlukan suatu revitalisasi untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini harus dilakukan sejalan dengan mengaktualisasikan kembali nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara agar tidak memudar atau tidak lagi dipercayai oleh sebagian kalangan. Pancasila bagi Indonesia adalah “asas bersama” bagi multikulturalisme Indonesia. Pancasila menjadi suatu common denomintor bagi pluralisme Indonesia dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan. 


Nama : Wendy Joice G.Kastanja
NPM : 18510474
Kelas : 3 PA 05 


http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=2801&Itemid=222

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar